Kamis, 17 Februari 2011

Tia Anakku

Panas menyengat di pekuburan desa. Tanah merah galian telah menutupi kembali liat lahat itu. Nisan bertuliskan Tia binti Aji terbaca dengan jelas. Tulisan di nisan itu dibacanya berulang-ulang. Dia masih tidak percaya dengan nama yang dibacanya. Nama itu nama anak bungsunya Tia. Lidahnya keluh. Tak satupun suara keluar. Dia hanya mematung berdiri.

Lama dia berdiri dalam diam. Suara panggilan teman dekatnya terdengar sayup. Ucapan mereka terdengar hingga sunyi menyelimut. Pelayat pergi. Pekuburan desa itu kembali sepi. Dia masih berdiri mematung sementara isterinya berdiri dalam diam tak jauh darinya.

“Apakah aku angkuh?”
“Apakah aku lebih perduli dengan urusanku dan diriku sendiri?”
“Apakah aku telah melantarkan keluargaku?”

Dia bertanya. Kata angkuh belum pernah terucap dari mulutnya. Sekarang dia mempertanyakan sikapnya selama ini. Keangkuhan ini telah menyebabkan anaknya meninggal. Mati kurang gizi. Miris mendengarnya tetapi selama ini dia tidak peduli dengan tudingan itu.

Rumah Aji terkesan mewah di salah satu jalan kompleks perumahan mewah di Selatan Jakarta. Mobil merek Korea selalu terparkir di depan rumahnya. Pakaian bagus dan mahal selalu dikenakannya. Sepatu selalu tersemir mengkilat. Tetangga jauh atau mereka yang tidak terlalu mengenalnya menganggap hidupnya makmur.

“Seribu aajaa, Mami!”
Bukan sekali dua kali anaknya mengucapkan kata itu merajuk ibunya. Anak kecil itu merajuk, tetapi ibunya tidak pernah mengasih seribu rupiahpun. Bukan hanya hari itu saja dia merajuk. Rajukan itu hampir terdengar pada hari-hari lainnya.

“Mami, Tia lapar Mamii!”
“Mami, sepatu Tia sudah robek. Belikan sepatu baru, Mamii!”
Suara anak kecil itu terdengar lagi pada hari lain. Pak Aji tidak selalu mendengar rengeka Tia di rumah. Pak Aji melarang renggekan itu terdengar darinya. Cukuplah ongkos belanja yang sudah dijatah.

Bukan sekali dua kali isterinya mengadukan hal itu. Bila diadukan, isterinya akan dimarahi dengan marah. Dia menganggap isterinya tidak becus mengurus anak. Dia menganggap rengekan Tia itu wajar. Tidaklah rengekan itu harus dipenuhi karena uang tabungan masih kurang untuk pencalonan walikota. Dia bercita-cita seperti itu.

Apakah kematian tragis anak bungsunya dapat meluluhkan hatinya? Sekarang dia hanya terdiam mematung di atas perkuburan desa itu. Menyesal!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar