Pada satu hari seorang pemimpin kaum terkemuka di Madinah sebelum kedatangan Rasulullah saw hijrah yang bernama Abdullah bin Ubay bertemu dan berbicara di depan orang-orang pendukungnya. Karena Rasulullah saw, sebagai tokoh terkemuka di mata kaumnya dia telah tersingkir. Masyarakat Yastrib telah menjadi bagian cikal bakal umat Islam.
Zaid bin Arqam tiba-tiba lewat. Dia mendengar percakapan Abdullah bin Ubay dan para pendukungnya. Pada waktu itu, Zaid bin Arqam masih kanak-kanak dan Abdullah bin Ubay membiarkannya mendengarkan pembicaraan mereka beberapa waktu. Kemudian, Zaid bin Arqam bersegera menemui Rasulullah saw. Disampaikannya perkataan Abdullah bin Ubay kepada Rasulullah saw. Perkataan itu suatu yang buruk dan menjelekkan Rasulullah saw dan Islam.
Mendengar laporan Zaid bin Arqam, kemudian Rasulullah saw mengajukan tiga pertanyaan kepadanya: Pertama, “Mungkin kamu marah padanya? Zaid menjawab, “Tidak”; Kedua, “Mungkin kamu tidak jelas mendengarnya? Zaid menjawab, “Tidak”; Ketiga, “Mungkin ada kata-katanya yang kamu lupa? Zaid kembali menjawab, “Tidak.”
Semua pertanyaan Zaid bin Arqam dapat jawab dengan tegas tanpa ragu sama sekali. Setelah mendengar laporan Zaid bin Arqam, Rasulullah saw tidak bertindak apapun juga. Beliau membiarkan beberapa waktu karena laporan Zaid bin Arqam belum sepenuhnya diyakininya.
Rasulullah saw tidak menganggap Zaid bin Arqam membawa berita palsu atau kejujurannya diragukan. Apa yang ditunggu Rasulullah saw atas berita Zaid bin Arqam adalah konfirmasi dari sumber-sumber lainnya. Apalagi Zaid bin Arqam masih belia sehingga akalnya belum sempurna.
Berkenaan berita Zaid bin Arqam, kemudian Abdullah bin Ubay mendatangi Rasulullah saw. Di hadapan Rasulullah saw, Abdullah bin Ubay menyampaikan berita versi Abdullah bin Ubay yang tentunya bertentangan dengan berita versi Zaid bin Arqam.
Di era modern dengan teknologi informasi yang sangat maju, berita versi Abdullah bin Ubay dan berita versi Zaid bin Arqam ada apa adanya. Begitu banyak berita itu tersebar dan disebarkan. Bukan hanya menggugat seorang tokoh, partai politik, organisasi sosial, lembaga-lembaga Islam dan negara-negara Islam bahkan menggugat Rasulullah saw dan isteri-isteri beliau.
Sebelum era teknologi internet, berita versi Abdullah bin Ubay tersebar melalui selebaran, stensilan, buku-buku tetapi pada era informasi sekarang ini individu-individu dan organisasi-organisasi sealiran dan sepeguruan dengan Abdullah bin Ubay dapat mengupload informasi dan berita di berbagai situs di internet. Dunia maya sekarang telah berubah menjadi medan perang urat syaraf (ghazwul fikri). Maka dari itu, perlu ada proses tabayyun atas berita dan informasi yang ada. Apakah berita dan informasi itu versi Abdullah bin Ubay ataukah versi Zaid bin Arqam.
Rasulullah saw telah memberikan uswah hasanah atas sebuah berita berupa tabbayun. Rasulullah saw memperhatikan berbagai aspek dari orang yang membawa berita (aspek psikologis seorang pembawa berita (kemarahan yang menyebabkan menurunnya tingkat objektifitas pemberitaan), kejelasan menangkap informasi secara lengkap, komprehensif dan gamblang dan kualitas pembawa berita penghapal yang baik atau pelupa).
Dengan tabayyun, kita dapat melihat apakah pembawa berita itu hanif atau sombong, ujub diri atau qonaah, lepas dari sifat dengki dan fitnah atau jujur. Di dunia maya, kita masih dapat menilai apakah pembawa berita itu memenuhi standar penilaian tersebut.
Mengenai berita atas dirinya, Rasulullah saw berada di antara dua versi berita dari Abdullah bin Ubay dan seorang bocah Zaid bin Arqam. Akan tetapi, Allah swt tidak membiarkan hamba-Nya dalam kebimbangan ini. Allah swt menurunkan ayat tentang kebenaran berita versi Zaid bin Arqam.
Allah swt berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat: 6)
Dalam ayat di atas, seorang mu’min harus membuat keputusan di atas keyakinan dan kepastian. Dia harus pertama-tama menghindari keraguan. Caranya dia harus memperlakukan informasi itu dengan hati-hati melalui pengecekan berulang-ulang tentang kebenaran berita itu. Hal ini akan menghindari dari kebodohan (jahalah). Kemudian, jati diri seseorang haruslah jelas. Kita perlu mengetahui apakah pembawa berita itu majhul (tidak diketahui kepribadiannya) atau sudah.
Berkenaan dengan pemberitaan ini harus dimunculkan sikap husnudzon (berbaik sangka) dan waspada. Ada dua firman Allah swt tentang hal ini:
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS Qaaf: 18)
“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS An-Nur: 16)
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah; menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maidah: 8)
Hadits Rasulullah saw juga membahas hal ini.
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya, dia segera memperbaikinya.” (Al-Bukhari)
“Tidak akan masuk surga orang yang suka mendengar-dengar berita rahasia orang lain.” (Al-Bukhari)
Minggu, 27 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar