Kamis, 24 April 2014

Badan Pelindung Koruptor

M Bashori Muchsin Guru besar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Media Indonesia, Jumat 25 April 2014, hlm. 22.

SEBENARNYA sudah lama institusi peme riksa keuangan seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) `ditersangkakan' oleh publik dan distigmatisasikan menjadi `badan pelindung koruptor'. Pasalnya, sudah beberapa kali, di luar kasus mantan Ketua BPK Hadi Poernomo ini, tidak sedikit pilar-pilarnya yang terlibat penyalahgunaan jabatan, baik ketika masih menduduki jabatan tertentu di instansi lain maupun ketika menjadi elemen BPK.

Meski oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Hadi Poernomo sudah ditetapkan menjadi tersangka, publik sudah tidak kaget. Mengapa demikian? Selain sudah banyak oknum di lembaga pemeriksa yang berpenyakitan imoralitas profetiknya, juga realitas problem korupsi sendiri yang masih mengultur dan menstruktur sehingga membuat koruptor bisa muncul dan berada di mana-mana.

Mulai dari ranah kementerian, parlemen, Komisi Yudisial (pengawas peradilan) hingga Mahkamah Konstitusi, misalnya, merupakan institusi yang mendahului atau menyertai BPK, yang beberapa oknumnya sudah diseret ke meja hijau akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Lembaga-lembaga strategis yang dipercaya rakyat ini ada oknumnya yang telah terjerumus menjadi institusi yang menciptakan pembohongan publik dengan cara memainkan jabatan mereka untuk mendapatkan uang, mulai mengamankan, meloloskan, hingga mendesain dirinya sendiri menjadi koruptor.

Dugaan BPK bermain-main dengan kasus korupsi misalnya dapat terbaca dalam audit Century dan Hambalang.

Suatu ketika, anggota Badan BPK Taufiequrachman Ruki mencurigai hasil audit investigasi BPK atas proyek pusat olahraga Hambalang, Bogor, Jawa Barat, diintervensi. Namun, lucunya setelah ramai jadi opini, Ruki justru meralat ucapannya. Ruki mengatakan tidak ada intervensi terhadap BPK. Yang benar ialah BPK memang belum merampungkan audit atas Hambalang.
Meskipun ada ralat demikian, dari pemeriksaan (temuan) awal menyebutkan BPK menemukan adanya uang muka proyek itu mengalir ke sejumlah korporasi. BPK kemudian mengkaji apakah pemberian uang muka itu sesuai aturan underlying transaction atau tidak. ubahan sikap Ruk Sehingga logis jika publik bertanya, ada apa dengan BPK atau apa sejatinya yang sedang terjadi di BPK?

Pertanyaan demikian logis ditembakkan kepada pimpinan BPK, karena badan auditor negara ini bertanggung jawab di ranah audit megaproyek yang sarat dengan muatan politik. Perlindungan istimewa Terlepas kasus Ruki itu, pelajaran besar diberikan lewat kasus Hadi Poernomo. Pasalnya, kasus ini semakin menunjukkan lembaga pengakeuangan atau tangkal korupsi terlibat dalam `pengadvo atau perlinkorupsiistimep a j was cegah i n i praktik kasian' kasian' dungan korupsi. Korupsi jak merupakan enis kasus korupsi istimewa, yang se mestinya menjadi prioritas BPK. Na mun, karena ketuanya sendiri (saat menjabat Dirjen Pa menjabat Dirjen Pajak) pernah `bermain-main' dengan korupsi pajak, ini layak di jadikan indikasi yang meniscayakan kalau tidak sedikit korupsi lainnya yang bukan tidak mungkin `diamendemen' (direkayasa) atau diendapkan oleh oknum BPK.

Sosiolog V Modrick pernah menyatakan, “Saat menyatakan, “Saat di masyarakat banyak tum buh subur penyakit penyimpangan jabatan, bisnis kekuasaan, penyalahgunaan etik profesi, atau kriminal elite berlaku arogan, eksklusif, dan pintar mengadaptasikan kekuasannya, itu menandakan kalau korupsi masih jauh dari harapan untuk bisa dihentikan.“ Pernyataan sosiolog itu menunjukkan membaca dan memahami model peny impangan kekuasaan yang berdaya dan menggurita dalam suatu negara atau pemerintahan ha rus dilakukan me lalui sikap atau perilaku aparat penegak hukum dan pengawas pembangunan.

Juga, masya rakat harus ditempatkan dalam kori dor embrio kriminal isasinya secara eskalatif ataupun masif.

Tidak akan sam pai terjadi dan marak kejahatan elitisme ka lau masyarakatatau sekelompok pejabat negara mau dan mampu menunjukkan semangat militansinya untuk mencegah dan memerangi korupsi.

Ketika sikap kelompok elite pengawas pembangunan atau keuangan negara tetap tidak konsisten saat berperang me lawan penja hat kelas elitis, inkonsistensi ini layak dibaca sebagai wujud peng adaan `bungker' bagi komunitas elitis yang sedang atau bermaksud memekarkan dan bahkan mengabsolutkan malapraktik jabatan atau kewenangan.

Lembaga-lembaga strategis bisa tergelincir menikmati atmosfer sebagai `badan pelindung atau pemproduksi korupsi', bilamana mereka tetap menjatuhkan opsi untuk memberikan yang terbaik pada kroni, keluarga, dan diri sendiri jika dibandingkan dengan memberi yang terbaik pada Bumi Pertiwi.

Opsi seperti itu identik dengan pembenaran berlakunya virus kronis atau `kanker' mematikan (korupsi). Elemen yang memilari lembaga negara bukannya menjadi institusi yang berdiri di garis depan jihad melawan penyakit, melainkan memilih jadi pengaman dan bahkan pendesain penyebaran virus.

Orde korupsi

Seharusnya mereka memahami korupsi itu berelasi dengan akar kriminogen yang tumbuh dan subur dalam suatu institusi strategis yang sarat penyakit, atau menghalalkan bersemainya beragam malversasi dan anomali. Kalau dalam institusi itu tumbuh subur pola bersikap dan berperilaku yang menoleransi dan memberikannya ruang liberalisasi praktik-praktik deviasi atau paradoksal dengan tatanan (rule of game), korupsi tidak akan sampai mengerucut dalam piramida absolutisme dan mencapai apa yang populer distigma `orde keemasan korupsi'.

BPK memang hanya salah satu sampel dari sekian banyak lembaga negara yang dicabik-cabik koruptor. Meski hanya salah satu sampel, jika sampelnya terus berganti-ganti wajah, ini menandakan kesuksesan koruptor dalam menciptakan atau membentuk `negara baru', dengan negara ini yang menjadi miniatur sejatinya negara formal. Kesuksesan koruptor ini berpangkal pada pola pengelolaan rezim yang masih kental menggunakan paradigma politik pengistimewaan atau pemihakan. Dalam ranah seperti inilah, koruptor sukses menciptakan liberalisasi sepak terjangnya.

Ruang liberalisasi itu pernah disebut oleh Ac Viday (2007), bahwa `kontribusi' terbesar bagi merajalela dan mengguritanya penyakit me nyimpang di zona elitisme, adalah akibat komunitas elitis yang dimanjakan atau mendapatkan berkah dari politik pengistimewaan yang digelar oleh para kroninya.

Seperti kata Viday itu, kita semestinya melakukan introspeksi bahwa gampang munculnya koruptor di balik ketiak kekuasaan atau jabatannya, tidak lepas dari sikap kita yang `tidak istimewa' dalam menghukum (menghakimi) koruptor. Koruptor tidak kita perlakukan sebagai penjahat keji dan serius yang mengambil hak-haknya, dan sebaliknya terbatas sebagai elite yang suka membohongi dan membodohi negara. Kita hanya menonton KPK menangkap berbagai tersangka koruptor dan kita terbatas pula menyerahkan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksinya. Padahal, kita sebenarnya selain bisa mengefektifkan wasmas (pengawasan masyarakat), juga bisa menghukum secara radikal.

Menghukum secara radikal itu bisa diwujudkan dalam bentuk mengalienasikan diri dan keluarganya. Penjatuhan hukuman berlapis sudah menjadi kewenangan hakim secara istimewa untuk membuatnya jera dan menciptakan `virus' efek edukatif kepada generasi muda atau pejabat-pejabat lain yang belum terinfeksi korupsi. Namun, menghukum keluarga mereka yang tidak sedikit di antaranya yang menjadi `unsur pendukung' korupsi mereka dapat menciptakan ketakutan besar pada setiap elemen kekuasaan (negara).

Siapa pun elemen bangsa ini, khususnya para pejabat, yang masih berpikiran normal tentulah mengakui kalau korupsi merupakan kejahatan yang terbilang serius atau penyakit kanker yang potensial menghancurkan leburkan negeri ini. Siapa yang bersikap apatis dan tidak menunjukkan sikap radikalismenya itu terhadap koruptor, lubanglubang yang membuat koruptor bisa banjir di mana-mana mustahil bisa ditutup. Jadikan koruptor sebagai common enemy.