Kamis, 03 Maret 2011

SBY dan Petinggi Demokrat Menganggap Mudah Masalah

Arah manuver Presiden SBY dan Partai Demokrat mulai berbalik arah. SBY dan para petinggi Demokrat sejak awal yakin dapat mendepak Golkar dan PKS. PDIP dan Gerindra sudah dipersiapkan akan menerima tawaran posisi menteri dengan mudah. Respon PDIP dan Gerindra ternyata bersyarat dan berbeda denga kehendak awal manuver SBY dan petinggi Demokrat. Sekali lagi ancaman ini berbalik menjadi bentuk kegamangan. SBY dan petinggi Demokrat seperti pemain politik baru yang gagal melihat realitas politis yang berkembang.

Petinggi PDIP menegaskan posisi partainya tetap sebagai oposisi. Puan Maharani ditawari jabatan Menteri Komunikasi dan Informatika. Tawaran SBY atas posisi menteri bagi kader PDIP sudah sejak lama diumbar. Berkenaan dengan tawaran ini, PDIP mengambil sikap yang jelas dan tegas bahwa mereka tetap menjadi oposisi. Dengan kata lain, tawaran SBY sendiri menjadi mentah meskipun tawaran yang diajukan sangat menggiurkan.

Fenomena ini jelas SBY dan petinggi Demokrat terlalu ponggah bersikap. Partai-partai politik dianggapnya akan menerima tawarannya dengan mudah. Politik transaksi sendiri yang dikembangkan SBY dan Demokrat menjadi terlalu murahan. Begitu mudah partai politik yang mendukung atas kemenangannya di pilpres untuk didepak. Begitu mudah pula partai politik yang berseberangan dengannya pada pilpres untuk diajak berkoalisi. Akibatnya para pakar melihat SBY dan Demokrat tidak menjalankan etika politik bernegara secara apik.

Kemudian, Gerindra sendiri tidak serta merta menerima tawaran SBY dan Demokrat. Gerindra juga jual mahal. Partainya Prabowo Subiakto mengeluarkan persyaratan untuk bergabung dalam koalisi pemerintah. Ada beberapa persyaratan yang dituntut Gerindra.

Persyaratan itu disampaikan dalam bentuk pertanyaan: apakah badan usaha milik negara bisa dikembalikan menjadi faktor penggerak perekonomian nasional, apakah pemerintah mau menghentikan ekspor produksi gas nasional untuk lebih mengutamakan kebutuhan dalam negeri, serta apakah pemerintah mau lebih mengutamakan ketahanan pangan dalam negeri ketimbang mengimpornya. Tawaran dua jabatan menteri (Menteri Negara BUMN dan Menteri Pertanian) kemungkinan besar ditolak.

SBY dan petinggi Demokrat tidak dapat menerima persyaratan itu. Hal ini memberatkan karena SBY dan petinggi Demokrat melihat dirinya pada posisi superordinat untuk mendikte partai-partai politik yang menjadi kandidat apakah menerima tawaranya atau tidak sama sekali. SBY dan petinggi Demokrat sendiri acapkali melihat kepentingan berkoalisi atau tidak itu dalam tataran sempit dan jangka pendek. Kepentingan rakyat acapkali terabaikan dalam kepentingan jangka pendek tersebut.

Berkenaan dengan kasus-kasus yang mencuat selama ini dan menjadi perhatian publik, SBY dan petinggi Demokrat sendiri cenderung berupaya mengamankan diri. Ada bau busuk tercium di luar karena kepentingan jangka pendek petinggi Demokrat sendiri. Pada kasus Century, begitu mudah dana talangan yang begitu besar dari kantong pemerintah digelontorkan ke sebuah bank semacam Bank Century. Sarat kepentingan politik Demokrat untuk menjatuhkan mereka yang kritis pada pengusulan hak angket mafia pajak. Karena takut bola panas hak angket ini tidak terkendali, SBY dan petinggi Demokrat berbalik arah menjadi salah satu partai yang menolak hak angket mafia pajak.

Dengan demikian, arah manuver SBY dan petinggi Demokrat mudah dibaca dan murahan. Hak angket mafia pajak hanyalah momen untuk tempat manuver tersebut. Sekali lagi, perhatian media massa dan rakyat telah beralih dari isu-isu mendasar ke koalisi pemerintah yang sangat rapuh untuk digoyang isu-isu biasa-biasa saja. Sekali lagi kearifan pemimpin negara ini atas nama memperbaiki kesejahteraan rakyat haruslah dipertanyakan. Jangan-jangan kesejahteraa partai sajalah menjadi timbangannya.

SBY dan Petinggi Demokrat Memudahkan Masalah

Arah manuver Presiden SBY dan Partai Demokrat mulai berbalik arah. SBY dan para petinggi Demokrat sejak awal yakin dapat mendepak Golkar dan PKS. PDIP dan Gerindra sudah dipersiapkan akan menerima tawaran posisi menteri dengan mudah. Respon PDIP dan Gerindra ternyata bersyarat dan berbeda denga kehendak awal manuver SBY dan petinggi Demokrat. Sekali lagi ancaman ini berbalik menjadi bentuk kegamangan. SBY dan petinggi Demokrat seperti pemain politik baru yang gagal melihat realitas politis yang berkembang.

Petinggi PDIP menegaskan posisi partainya tetap sebagai oposisi. Puan Maharani ditawari jabatan Menteri Komunikasi dan Informatika. Tawaran SBY atas posisi menteri bagi kader PDIP sudah sejak lama diumbar. Berkenaan dengan tawaran ini, PDIP mengambil sikap yang jelas dan tegas bahwa mereka tetap menjadi oposisi. Dengan kata lain, tawaran SBY sendiri menjadi mentah meskipun tawaran yang diajukan sangat menggiurkan.

Fenomena ini jelas SBY dan petinggi Demokrat terlalu ponggah bersikap. Partai-partai politik dianggapnya akan menerima tawarannya dengan mudah. Politik transaksi sendiri yang dikembangkan SBY dan Demokrat menjadi terlalu murahan. Begitu mudah partai politik yang mendukung atas kemenangannya di pilpres untuk didepak. Begitu mudah pula partai politik yang berseberangan dengannya pada pilpres untuk diajak berkoalisi. Akibatnya para pakar melihat SBY dan Demokrat tidak menjalankan etika politik bernegara secara apik.

Kemudian, Gerindra sendiri tidak serta merta menerima tawaran SBY dan Demokrat. Gerindra juga jual mahal. Partainya Prabowo Subiakto mengeluarkan persyaratan untuk bergabung dalam koalisi pemerintah. Ada beberapa persyaratan yang dituntut Gerindra.

Persyaratan itu disampaikan dalam bentuk pertanyaan: apakah badan usaha milik negara bisa dikembalikan menjadi faktor penggerak perekonomian nasional, apakah pemerintah mau menghentikan ekspor produksi gas nasional untuk lebih mengutamakan kebutuhan dalam negeri, serta apakah pemerintah mau lebih mengutamakan ketahanan pangan dalam negeri ketimbang mengimpornya. Tawaran dua jabatan menteri (Menteri Negara BUMN dan Menteri Pertanian) kemungkinan besar ditolak.

SBY dan petinggi Demokrat tidak dapat menerima persyaratan itu. Hal ini memberatkan karena SBY dan petinggi Demokrat melihat dirinya pada posisi superordinat untuk mendikte partai-partai politik yang menjadi kandidat apakah menerima tawaranya atau tidak sama sekali. SBY dan petinggi Demokrat sendiri acapkali melihat kepentingan berkoalisi atau tidak itu dalam tataran sempit dan jangka pendek. Kepentingan rakyat acapkali terabaikan dalam kepentingan jangka pendek tersebut.

Berkenaan dengan kasus-kasus yang mencuat selama ini dan menjadi perhatian publik, SBY dan petinggi Demokrat sendiri cenderung berupaya mengamankan diri. Ada bau busuk tercium di luar karena kepentingan jangka pendek petinggi Demokrat sendiri. Pada kasus Century, begitu mudah dana talangan yang begitu besar dari kantong pemerintah digelontorkan ke sebuah bank semacam Bank Century. Sarat kepentingan politik Demokrat untuk menjatuhkan mereka yang kritis pada pengusulan hak angket mafia pajak. Karena takut bola panas hak angket ini tidak terkendali, SBY dan petinggi Demokrat berbalik arah menjadi salah satu partai yang menolak hak angket mafia pajak.

Dengan demikian, arah manuver SBY dan petinggi Demokrat mudah dibaca dan murahan. Hak angket mafia pajak hanyalah momen untuk tempat manuver tersebut. Sekali lagi, media massa dan rakyat telah beralih perhatiannya dari isu-isu mendasar ke koalisi pemerintah yang sangat rapuh untuk digoyang isu-isu biasa-biasa saja. Sekali lagi kearifan pemimpin negara ini atas nama memperbaiki kesejahteraan rakyat haruslah dipertanyakan. Jangan-jagan kesejahteraa partai saja menjadi timbangannya.

Mungkinkah PDIP Bergabung dengan Koalisi Pemerintah?

Pemerintah SBY dan Partai Demokrat sedang mencari anggota baru partai koalisi yang dapat bergabung dengannya. Ada dua partai politik yang sudah didekati. Partai pertama adalah Gerindra atau Gerakan Indonesia Raya di bawah pimpinan Prabowo. Kabarnya Gerindra mendapatkan dua posisi dalam koalisi pendukung pemerintah, yaitu Menteri Pertanian dan Menteri Negara BUMN. Loyalitas Partai Gerindra terlihat dalam penolakan hak angket mafia pajak di parlemen beberapa waktu lalu. Tentu, tawaran SBY dan Partai Demokrat jelas tidak dapat diragukan lagi karena Gerindra adalah salah satu yang menolak penggunaan hak angket DPR tersebut. Yang menjadi pertanyaan besar adalah tawaran bergabung dengan koalisi kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di bawah pimpinan Megawati Soekarnoputri. Bagaimana hal ini terjadi?

Secara partai politik, PDIP merupakan salah satu partai politik yang menolak hak angket mafia pajak. Memang ada delapan anggota DPR RI Fraksi PDIP tidak dapat menghadiri sidang paripurna DPR RI yang membahas hak angket mafia pajak. Dua anggota berstatus tahanan hukum, lima lainnya izin berhalangan mengikuti voting dan tiga mangkir tanpa kabar. Maka dari itu, banyak pihak menganggap Fraksi PDIP tidak sungguh-sungguh untuk menggolkan hak angket ini.

Fenomena SBY dan Partai Demokrat melakukan pendekatan atas PDIP dan Megawati berlangsung tadi malam. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mendatangi kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Dia hanya bertemu Taufik Kiemas dan Puan Maharani. Megawati emoh bertemu Hatta Rajasa.

Yang jelas PDIP tidak melihat Taufik Kiemas dan Puan Maharani, tetapi partai politik ini sangat menaati perintah Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umumnya. Sekali lagi, faktor Megalah rencana besar untuk mengeluarkan Partai Golkar dan PKS akan gagal total. Seperti diketahui hubungan SBY dan Megawati Soekarnoputri selama ini kurangnya harmonis. Undangan upacara kenegaraan Ultah RI di Istana Negara dari Presiden SBY ditampik mantan presiden Megawati Soekarnoputri.

Yang menjadi sebuah fenomena besar di sini adalah mengapa SBY dan Partai Demokrat menawarkan bergabung dengan koalisi pendukung pemerintah. Bukankah PDIP bersama Golkar dan PKS bersama-sama mendukung hak angket mafia pajak, tetapi mengapa Golkar dan PKS didepak tetapi PDIP diundang untuk bergabung?

Karena tidak ada landasan logika yang mendukung tawaran kepada PDIP untuk bergabung ke koalisi pendukung partai, maka SBY dan Demokrat lebih cenderung mengeluarkan Golkar dan PKS dari koalisi pendukung pemerintah karena alasan like or dislike (suka atau tidak suka).

Dengan kata lain bila SBY dan Demokrat menganggap kedua partai politik tersebut tidak bisa dikendalikan, yang salah bukanlah kedua partai politik tersebut tetapi SBY dan Demokrat itu sendiri. Mengapa selama 1,5 tahun sejak terbentuknya pemerintahan SBY, SBY dan Demokrat tidak membangun pola manajemen yang baik dengan anggota-anggota partai koalisi. Bila ada kesepakatan untuk berkoalisi, maka sebenarnya SBY dan Demokrat harus mengembangkan pola organisasi yang berhasil guna. Dengan demikian, anggota partai-partai koalisi tidak dapat keluar dari kesepakatan itu.

Pola komunikasi, lobi dan negosiasi tidak dibangun selama 1,5 tahun terakhir ini. Kasus-kasus besar disikapi secara berbeda oleh anggota partai-partai koalisi. Dengan kata lain, SBY dan Demokrat telah gagal membangun pola komunikasi itu. Sebaliknya, anggota partai-partai politik dibiarkan bermanuver dengan visi dan misi masing-masing bukan visi dan misi koalisi pemerintah pendukung pemerintahan SBY dan Boediono.

Maka dari itu, bila SBY dan Demokrat berhasil mendepak Golkar dan PKS keluar dari koalisi pemerintah dan menggantikannya dengan PDIP dan Gerindra, maka ketidakjelasan visi dan misi, tidak adanya pola manajemen dan kepemimpinan yang dibangun dan faktor like or dislike menyebabkan koalisi pendukung pemerintah ini cair dan rapuh. Kasus-kasus sikut menyikut dan sudut menyudutkan sesama anggota partai-partai koalisi akan juga terjadi dengan PDIP dan Gerindra di masa depan.

Rabu, 02 Maret 2011

Koalisi SBY: Apakah SBY Berani Mengambil Keputusan yang Drastis?

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa kembali mengunjungi kediaman Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umuar 27, Jakarta Pusat. Hatta bertemu dengan Taufiq Kemas dan Puan Maharani. Diakui bahwa pertemuan ini bagian dari upaya koalisi untuk membuka komunikasi dengan semua pimpinan partai. Para pengamat sedang menunggu-nunggu keberanian SBY mendepak Golkar dan PKS dari koalisi pemerintah setelah kedua partai tersebut mendukung Angkat Mafia Pajak.

Perkembangan koalisi ini menjadi semakin menarik. Apakah Angket Mafia Pajak ini merupakan sebuah manuver dari Demokrat untuk menendang Golkar dan PKS, kita tunggu perkembangan selanjutnya. Anehnya hak angket DPR RI ini pada awalnya mendapat dukungan penuh dari Demokrat. Demokrat sendiri adalah inisiator angket ini, kemudian berbalik menolaknya. Sebaliknya, Golkar berbalik dari menolak menjadi mendukung angket tersebut. Keanehan ini perlu diperjelas tentang arah koalisi ini dibawa. Apakah Sekretaris Gabungan sendiri telah membuat kesepakatan tentang hak angket ini atau hanya menonjolkan kepentingan partai-partai besar?

Angket ini menjadi penting karena bila disahkan DPR mempunyai hak penyelidikan dalam kaitan dengan mafia pajak yang terjadi. Hal angket DPR RI diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, Pasal 27 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, dan Pasal 176-183 Peraturan Tata Tertib DPR. Meskipun produk sistem parlementer, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hak angket ini masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan Pasal 176 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR menegaskan bahwa hak angket digunakan untuk menyelidiki “kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”

Mafia pajak disinyalir telah mengurangi pendapatan negara sebesar Rp280 milyar per tahun. Angka ini sangat fantastis. Kita harus melihat esensi ini daripada membungkus masalah ini secara politis. Apalagi Demokrat dan Golkar sendiri sebagai bagian dari koalisi pemerintah lebih cenderung bermanuver sendiri. Kedua partai politik tersebut seharusnya bermanuver atas nama anggota koalisi pemerintah. Ternyata, ketika ada yang bersikap mendukung Demokrat mengambil langkah drastis berupa ancaman mengeluarkan dukungan atas Golkar dan PKS yang mendukung hak angket tersebut.

Koalisi pemerintah ini sendiri tidak berjalan berdasarkan nilai-nilai etika berpolitik dan konstitusi negara ini. Kepentingan jangka pendek lebih terlihat terutama partai-partai besar, yaitu Demokrat dan Golkar. Tidak berjalannya etika berpolitik dan penegakan konstitusi ini menyebabkan kita harus bertanya apakah pemerintah SBY berani menuntaskan kasus Century, kasus Gayus, kasus korupsi di tubuh POLRI, skandal cek pelawat, pengkerdilan KPK dan lainnya. Kita kuatir pemerintah SBY lebih cenderung berwacana daripada menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Yang lebih tepat kita melihat komitmen Demokrat dalam penegakan nilai-nilai etika berpolitik dan konstitusi negara.

Kemudian, terlihat jelas sekretaris gabungan (Setgab) tidak berjalan secara berhasil guna. Dominasi Demokrat dan Golkar lebih utama dalam koalisi tersebut. Masing-masing partai koalisi pemerintah dalam Setgab tidak diperlakukan secara sama. Banyak kepentingan jangka pendek dimainkan pada tingkat Setgab ini. Hal ini terutama dari pihak Demokrat dan Golkar.

Kemudian, pejabat teras Demokrat sendiri sering menggunakan media sebagai corong. Politik berwacana terlihat dominan dalam pemerintahan SBY. Yang mudah sebenarnya pihak Demokrat dan pemerintah menyelesakan kasus-kasus yang sedang berkembang dengan segera mungkin.

Apabila SBY dan Demokrat sendiri tidak mengambil langkah yang lebih baik, percuma saja penggantian anggota koalisi dari mendepak Golkar dan PKS dan memasukkan PDIP dan Gerindra. Kelemahan sebenarnya bukan berada di tingkat Setgab dan anggota koalisi pemerintah tetapi pada SBY dan Demokrat itu sendiri.

Kita sebenarnya menunggu kearifan para pemimpin negara ini dalam bernegara. Kearifan dan kebijakan seorang pemimpin sangatlah diperlukan. Rakyat membutuhkan penyelesaian berbagai kasus itu segera. Pemerintah SBY harus mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Bila grand strategy ini ada di tingkat Setgab koalisi pemerintah, maka media massa tidak perlu diisi dengan wacana yang tidak perlu seperti itu. Semoga harapan ini dapat didengar pihak SBY, Demokrat dan koalisi pemerintah.