Arah manuver Presiden SBY dan Partai Demokrat mulai berbalik arah. SBY dan para petinggi Demokrat sejak awal yakin dapat mendepak Golkar dan PKS. PDIP dan Gerindra sudah dipersiapkan akan menerima tawaran posisi menteri dengan mudah. Respon PDIP dan Gerindra ternyata bersyarat dan berbeda denga kehendak awal manuver SBY dan petinggi Demokrat. Sekali lagi ancaman ini berbalik menjadi bentuk kegamangan. SBY dan petinggi Demokrat seperti pemain politik baru yang gagal melihat realitas politis yang berkembang.
Petinggi PDIP menegaskan posisi partainya tetap sebagai oposisi. Puan Maharani ditawari jabatan Menteri Komunikasi dan Informatika. Tawaran SBY atas posisi menteri bagi kader PDIP sudah sejak lama diumbar. Berkenaan dengan tawaran ini, PDIP mengambil sikap yang jelas dan tegas bahwa mereka tetap menjadi oposisi. Dengan kata lain, tawaran SBY sendiri menjadi mentah meskipun tawaran yang diajukan sangat menggiurkan.
Fenomena ini jelas SBY dan petinggi Demokrat terlalu ponggah bersikap. Partai-partai politik dianggapnya akan menerima tawarannya dengan mudah. Politik transaksi sendiri yang dikembangkan SBY dan Demokrat menjadi terlalu murahan. Begitu mudah partai politik yang mendukung atas kemenangannya di pilpres untuk didepak. Begitu mudah pula partai politik yang berseberangan dengannya pada pilpres untuk diajak berkoalisi. Akibatnya para pakar melihat SBY dan Demokrat tidak menjalankan etika politik bernegara secara apik.
Kemudian, Gerindra sendiri tidak serta merta menerima tawaran SBY dan Demokrat. Gerindra juga jual mahal. Partainya Prabowo Subiakto mengeluarkan persyaratan untuk bergabung dalam koalisi pemerintah. Ada beberapa persyaratan yang dituntut Gerindra.
Persyaratan itu disampaikan dalam bentuk pertanyaan: apakah badan usaha milik negara bisa dikembalikan menjadi faktor penggerak perekonomian nasional, apakah pemerintah mau menghentikan ekspor produksi gas nasional untuk lebih mengutamakan kebutuhan dalam negeri, serta apakah pemerintah mau lebih mengutamakan ketahanan pangan dalam negeri ketimbang mengimpornya. Tawaran dua jabatan menteri (Menteri Negara BUMN dan Menteri Pertanian) kemungkinan besar ditolak.
SBY dan petinggi Demokrat tidak dapat menerima persyaratan itu. Hal ini memberatkan karena SBY dan petinggi Demokrat melihat dirinya pada posisi superordinat untuk mendikte partai-partai politik yang menjadi kandidat apakah menerima tawaranya atau tidak sama sekali. SBY dan petinggi Demokrat sendiri acapkali melihat kepentingan berkoalisi atau tidak itu dalam tataran sempit dan jangka pendek. Kepentingan rakyat acapkali terabaikan dalam kepentingan jangka pendek tersebut.
Berkenaan dengan kasus-kasus yang mencuat selama ini dan menjadi perhatian publik, SBY dan petinggi Demokrat sendiri cenderung berupaya mengamankan diri. Ada bau busuk tercium di luar karena kepentingan jangka pendek petinggi Demokrat sendiri. Pada kasus Century, begitu mudah dana talangan yang begitu besar dari kantong pemerintah digelontorkan ke sebuah bank semacam Bank Century. Sarat kepentingan politik Demokrat untuk menjatuhkan mereka yang kritis pada pengusulan hak angket mafia pajak. Karena takut bola panas hak angket ini tidak terkendali, SBY dan petinggi Demokrat berbalik arah menjadi salah satu partai yang menolak hak angket mafia pajak.
Dengan demikian, arah manuver SBY dan petinggi Demokrat mudah dibaca dan murahan. Hak angket mafia pajak hanyalah momen untuk tempat manuver tersebut. Sekali lagi, media massa dan rakyat telah beralih perhatiannya dari isu-isu mendasar ke koalisi pemerintah yang sangat rapuh untuk digoyang isu-isu biasa-biasa saja. Sekali lagi kearifan pemimpin negara ini atas nama memperbaiki kesejahteraan rakyat haruslah dipertanyakan. Jangan-jagan kesejahteraa partai saja menjadi timbangannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar