Bankrut atau
pailit adalah sebuah keadaan yang hampir setiap manusia berusaha hindari atau
jauhi. Berbeda dengan terminologi pada umumnya, Rasulullah SAW mengartikan
bankrut berkenaan dengan amal sholeh yang seorang muslim lakukan di dunia ini
tetapi tidak memadai di depan Allah ajja wa jalla di hari
kiamat.
Kata bankrut
berasal dari bahasa Italia banca rotta yang berarti bangku
yang patah. Di zaman Yunani kuno, mereka tidak mengenal istilah bankrut. Bila
seorang bankrut, maka orang itu akan menjadi budak karena utangnya (debt
slavery). Dalam Islam, seorang yang bankrut (muflis) diberi waktu
untuk membayar utangnya (QS Al Baqarah ayat 280). Lebih parah lagi orang yang
bankrut ini berkenaan dengan amal sholehnya di hari kiamat. Padahal kondisi
modern sekarang ini kurang memberi perhatian atas bankrut semacam ini. Hal ini
sesuai hadist berikut ini.
Dalam hadits
riwayat Muslim, dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya
kepada shahabat-shahabat beliau:
Tahukah
kalian siapa orang yang bangkrut itu?Mereka menjawab: Orang yang bangkrut dari
kami adalah yang tidak memiliki dirham dan barang-barang. Lalu beliau bersabda:
Orang yang bangkrut dari umatku adalah yang datang pada hari kiamat dengan
amalan shalat, puasa dan zakat, ia datang namun pernah mencela ini, pernah
menuduh itu, pernah makan harta ini, pernah mengucurkan darah itu, dan ia pun
pernah memukul yang lainnya lagi. Lalu orang yang ini diberikan sebagian dari
kebaikannya dan yang itu pun diberi dari sebagian kebaikannya. Apabila
kebaikannya habis sebelum tanggungannya selesai, maka keburukan orang-orang itu
akan diambil lalu ditimpakan kepada dirinya, lalu ia dilemparkan ke dalam
neraka. (HR.
Muslim)
Di dalam
hadist di atas, terdapat pernyataan yang menunjukkan perilaku seseorang,
yaitu ia datang namun pernah mencela ini, pernah menuduh itu, pernah
makan harta ini, pernah mengucurkan darah itu, dan ia pun pernah memukul yang
lainnya lagi. Ada perilaku seorang manusia yang buruk: 1. suka mencela
orang lain; 2. suka menuduh orang berbuat sesuatu yang orang itu tidak pernah
perbuat; 3. suka makan harta orang lain yang tidak halal; 4. suka mengucurkan
darah (membunuh tanpa sebab); 5. suka memukul (menganiaya). Perilaku ini
membuat seorang muslim itu bankrut dan pailit.
Hadist ini
juga menegaskan orang yang bankrut itu (muflis) berasal dari ummat
Rasulullah SAW. Padahal seorang muslim telah melakukan perniagaan terbaik
dengan Allah Ajja wajalla. Di Al Qur’an surat At Taubah ayat 111, Allah
berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta
mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah;
lalu mereka membunuh atau terbunuh. janji yang benar dari Allah di dalam
Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan
itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah : 111)
Dengan kata
lain, seorang muslim yang bankrut sebenarnya tidak mungkin terjadi. Seorang
muslim pasti selalu mengabdikan dirinya untuk Allah subhana wata’ala semata.
Tidak ada perbuatan yang lebih baik dari mentaati Allah. Tiada perbuatan yang
lebih baik dari memenuhi hidupnya dengan perbuatan yang menyenangkan Allah ajja
wajalla. Tetapi, hadist di atas menunjukkan apa yang Rasulullah SAW kuatirkan.
Lalu mengapa perilaku itu terjadi?
Shibgah
Allah tidak cukup mewarnai perilaku hidup seseorang. Seorang ulama memiliki
ilmu agama yang paripurna tetapi perilakunya tidak sesuai dengan ilmu agama
yang dia ajarkan. Al Ghazali berkata," Ilmulah yang membedakan
manusia dari binatang. Dengan ilmu manusia menjadi mulia. Bukan dengan kekuatan
fisik, sebab unta jauh lebih kuat. Bukan dengan kebesaran tubuh, sebab gajah
pasti lebih besar. Bukan dengan keberanian, sebab singa lebih berani darinya..
. . Manusia diciptakan hanya untuk ilmu."
Ketika peradaban Islam terpuruk, ilmu agama
diporak-porandakan, ulama tidak melakukan pembaharuan terhadap Islam dan
masyarakatnya. Sebaliknya, ulama ini membuat Islam dan agamanya semakin
dijauhi. Dia telah memperpanjang masalah yang dihadapi agama dan masyarakat
muslim sekarang ini. Kehadirannya bukan menyelesaikan masalah tetapi menambah
masalah-masalah baru.
Kemudian, perilaku ulama di atas terjadi karena
pendidikan Islam hanya berupaya memenuhi kepuasan intelektual dan menjadikan
ilmu agama hanya sebagai ilmu alat. Pendidikan Islam sendiri mengabaikan inti
pendidikan dalam Islam itu, yaitu meningkatnya ilmu meningkatnya khasyyaf
(kekhusyukan kepada Tuhan) dan takwa kepada Allah.
Dalam bukunya Tajdid 'Ulum al-Din (Pembaharuan
Ilmu-Ilmu Agama), Wahiduddin Khan mengatakan sebuah keharusan untuk meneladani
generasi pertama Islam yang teguh berpegang pada Al Qur'an dan As Sunnah. Oleh
karena itu, benar adanya sabda Rasulullah SAW:
"Manusia akan berada dalam kehancuran kecuali
mereka yang berilmu. Yang berilmu pun akan binasa kecuali yang mengamalkan
ilmu. Dan yang mengamalkannya juga akan binasa kecuali mereka melakukannya
dengan ikhlas." [i]
Yang berikutnya adalah manusia tidak diperlakukan sama di depan hukum. Rakyat jelata
dijatuhi hukuman berat karena mereka tidak memahami bahwa itu salah dan
melanggar karena kemiskinan yang menjerat, seperti kasus nenek Minah yang mencuri
3 buah kakao dan dihukum 1 bulan. Sebaliknya, penegakan hukum sekarang ini
berupaya melakukan berbagai cara untuk membebaskan mereka yang memiliki
keistimewaan dan berasal dari kalangan penguasa. Bukan hanya membebaskan, tetapi
hal ini juga menjatuhkan hukuman yang lebih rendah. Perbuatan ini mendapatkan
kutukan Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang terkenal:
"Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya kehancuran umat terdahulu dikarenakan mereka
telah memilah dan memilih dalam penegakan hukum. Jika yang mencuri itu berasal
dari kalangan orang-orang lemah dan rakyat jelata (kaum dhuafa), maka
serta-merta mereka melaksanakan hukuman atasnya. Tetapi apabila yang melakukan
pencurian itu berasal dari kalangan orang-orang yang terhormat (kaum syarif),
maka mereka enggan melaksanakannya. demi Allah, andaikan Fatimah binti
Muhammad, anakku sendiri, yang sengaja melakukan pencurian, maka aku sendiri
yang akan memotong tangannya."
Hadist ini
berkenaan dengan keengganan sebagian shahabat Rasulullah SAW menghukum seorang
wanita Bani Makhzumiyyah yang melakukan tindak pidana pencurian. Kemudian,
mereka mengutus Usamah bin Zaid untuk meminta pengurangan hukuman atas wanita
itu kepada Rasulullah SAW.
Kemudian, yang
dimaksudkan dengan orang muslim yang bankrut di atas adalah orang yang
menganggap enteng perbuatan mubah dan haram. Dalam hadist di atas yang
sebagiannya berbunyi, ia datang namun pernah mencela ini, pernah
menuduh itu, pernah makan harta ini, pernah mengucurkan darah itu, dan ia pun
pernah memukul yang lainnya lagi, hal ini berkaitan dengan salah
gaul.
Seorang
muslim haruslah menjaga lisan, penglihatan dan pendengaran dari berbagai hal
yang mengeruhkan jiwa dan hati, perbuatan bermusuhan dan dendam. Seorang muslim
menjadi cermin saudaranya yang lain. Dalam pengertian ini pula, seorang yang
lalai juga menjadi cermin saudaranya yang lalai lainnya. Tidaklah mengherankan
meninggalkan perkara yang mubah dan tidak bermanfaat suatu yang dianjurkan
seperti pernyataan Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun mengasingkan diri dari manusia dalam hal berlebih-lebihan didalam perkara yang mubah dan perkara yang tidak bermanfaat -karena zuhud terhadapnya-, maka hal itu mustahab.” [ Fatawa Ibnu Taimiyah; 10/405]
Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun mengasingkan diri dari manusia dalam hal berlebih-lebihan didalam perkara yang mubah dan perkara yang tidak bermanfaat -karena zuhud terhadapnya-, maka hal itu mustahab.” [ Fatawa Ibnu Taimiyah; 10/405]
Perbuatan
yang membuat bankrut lebih cenderung terjadi karena salah gaul. Kesalahan
bergaul menyebabkan hilang nikmat Allah, tertabur benih permusuhan dan rasa
sakit serta perbuatan membunuh dan kerugian dunia akhirat. Seorang muslim dapat
menjaga keimanan dan ketaqwaan ketika bersama dengan muslim lainnya. Ketika
keadaan berubah dan dia bertemu dengan orang-orang yang lalai dalam berdzikir,
maka seorang muslim yang taat dan menjaga keimanan itu berubah menjadi orang
yang jauh dari keimanan dan ketakwaan.
Ibnul Jauzy
berkata “Hampir tidak ada
yang menyukai berkumpul dengan manusia kecuali (hati) yang kosong.
Karena hati yang tersibukkan dengan al-haq akan lari dari makhluk. Ketika
hati kosong dari mengetahui al-haq, dia pun tersibukkan dengan makhluk.
Sehingga dia pun beramal untuk dan karena mereka, dan dia binasa karena riya’
tanpa dia mengetahuinya.” [Shaidul Khathir hlm. 217 ]
Dari salah
gaul di atas, apapun dapat dilakukan termasuk berghibah dan memfitnah. Inilah
sebuah keadaan yang membuat seorang muslim lalai dan terlalaikan. Untuk apa
bergelimpangan harta dan kekuasaan, padahal dirinya sudah masuk dalam kategori
orang-orang yang bankrut. Oleh karena itu, seorang muslim haruslah selalu
introspeksi diri. Bangunkanlah diri, jiwa dan raga sendiri sebelum Anda
membangunkan diri, jiwa dan raga orang lain. Semoga bertemu dengan Allah ajja
wajalla bukan termasuk orang-orang yang rugi dan bankrut!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar