Menganalisis artikel opini
orang lain yang terbit di berbagai koran nasional memungkinkan kita mengetahui
cara menulis artikel opini yang dapat diterima di koran-koran. Menganalisis
artikel opini dapat dilakukan melalui kalimat tesis, keywords, reasons dan
evidence yang digunakan.
Kalimat tesis haruslah dapat
debatable. Pengertian debatable memungkinkan muncul di antara pembaca antara
setuju dan tidak setuju. Kesulitan seorang yang menganalisis artikel opini
orang lain adalah menemukan kalimat tesis dan menentukan apakah kalimat tesis
itu debatable atau tidak. Agar lebih mudah difahami kita dapat menganalisis
tulisan Daniel Mohammad Rosyid tentang Menyoal Wajib Belajar yang terbit di
Kompas pada 1 Juli 2014.
Kebetulan pada tulisan
penulis M. Rosyid ini, tidaklah sulit menemukan pernyataan tesisnya:
"Program itu amat populer, tapi perlu ditinjau ulang karena tidak akan
pernah berhasil dan tidak perlu serta berpotensi menyesatkan apalagi dibumbui
kata gratis." Dari kalimat tesis ini, terlihat penulis membahas tentang
efektifitas program wajib belajar. Tulisan ini cenderung mengevaluasi kebijakan
publik di bidang pendidikan ini.
Keywords di tulisan artikel
ini juga terlihat. Konsep yang digunakan adalah wajib belajar, persekolahan,
pendidikan, pendidikan nonformal dan informal, bias kelas menengah dan kelas
atas, bias kota dengan lingkungan industri, bias industri dan abad internet.
Keywords ini dieksplorasi lebih lanjut dalam kaitan konsep utama tulisan ini,
yaitu wajib belajar, persekolahan dan pendidikan.
Karena artikel opini berupa
evaluasi kebijakan, terlihat reasons yang digunakan. Misalnya, program No Child
Left Behind yang diluncurkan Bush Jr. bolah dikatakan gagal menyediakan
persekolahan 12 tahun untuk semua anak AS. Sistem persekokalahan dirancang
dengan dua bias. Sekolah juga bias industri. Wajib belajar versus wajib sekolah
sebagai hal yang menyesatkan. Karena meremehkan peran masyarakat dan terutama
keluarga dalam pendidikan. karena belajar sesungguhnya merupakan kegiatan yang
spontan dan berlangsung sepanjang hayat dikandung badan dan karena itu
seharusnya menyenangkan agar bermakna bagi anak sebagai subjek yang belajar dan
bagi semua warga belajar. Yang terakhir, bersekolah harus menjadi pilihan bebas
bagi setiap anak Indonesia. Oleh karena itu, reasons di setiap paragraf di
artikel opini mengarahkan cara evidence itu digunakan.
Setelah kita memahami
bagaimana tempat reasons di artikel opini, kita dapat mengetahui bagaimana
penulis menggunakan evidence pada kalimat-kalimat di setiap paragraf. Misalnya,
dengan reason bahwa sekolah juga bias industri. Evidence yang penulis sampaikan
berupa tercerabutnya anak-anak pedesaan dari lingkungan lokal mereka. Kemudian,
kita dapat lihat menggunakan pernyataan pakar Ivan Illich berkenaan dominasi
sekolah dalam pendidikan versus keluarga dan masyarakat.
Kemampuan kita untuk
menganalisis artikel opini orang memungkinkan kita menerapkan pokok artikel
opini di tulisan kita sendiri. Pokok artikel opini terdiri dari pernyataan
tesis, keywords, reasons dan evidence yang digunakan. Janganlah lupa,
pernyataan tesis dan kalimat topik haruslah berbentuk debatable. Jangan hanya
menulis keduanya yang bersifat non-debatable. Kemudian, analisis harus
dilanjutkan dengan pembedaan keywords yang digunakan dan apa yang sebenarnya.
Hal ini harus juga disertai dengan reasons dan evidence yang digunakan.
Berbagai evidence dapat digunakan sepanjang memenuhi reasons yang penulis
sampaikan.
Lampiran
Menyoal Wajib Belajar
Daniel Mohammad Rosyid,
Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
KOMPAS, 01 Juli 2014
WAJIB belajar sebagai program
pemerintah sudah cukup lama dikonsepkan dan saat ini wajib belajar 12 tahun
gratis dijadikan bahan kampanye para calon presiden. Program itu amat populer,
tapi perlu ditinjau ulang karena tidak akan pernah berhasil dan tidak perlu
serta berpotensi menyesatkan apalagi dibumbui kata gratis.
Yang dimaksud wajib belajar
ternyata diwujudkan dalam wajib bersekolah. Pemerintah melalui Kemendikbud
praktis menyamakan pendidikan dengan persekolahan. Alokasi anggaran untuk
persekolahan jauh lebih besar daripada untuk pendidikan nonformal dan informal.
Maksud program itu, warga negara Indonesia diharapkan minimal lulusan SMA
(bersekolah 12 tahun) dalam lima tahun ke depan. Ini sebuah program yang
dimaksudkan untuk membebaskan semua warga negara untuk menikmati bangku sekolah
hingga SMA tanpa membayar uang sekolah. Mungkin masyarakat harus tetap
membiayai sendiri untuk seragam, sepatu dan buku, serta transpor ke sekolah.
Program tersebut tidak akan
pernah berhasil dan sesungguhnya tidak perlu karena beberapa alasan. Berdasar
pengalaman, Amerika Serikat sebagai negara adidaya dengan duit melimpah pun
gagal. Program No Child Left Behind yang diluncurkan Bush Jr. boleh dikatakan
gagal menyediakan persekolahan 12 tahun untuk semua anak AS. Studi Ivan Illich
dkk di Cuarnavaca, Meksiko, akhir 1960-an sebelumnya dengan jelas mengingatkan
bahwa pendidikan universal tidak mungkin diwujudkan melalui persekolahan
(schooling).
Mengapa gagal? Sistem
persekolahan dirancang dengan dua bias. Bias pertama adalah bias kelas menengah
dan kelas atas. Artinya, anak miskin umumnya dirugikan atau terpaksa
dropped-out karena berbagai sebab, terutama karena harus bekerja membantu
ekonomi keluarga. Angka partisipasi kasar secara konsisten dilaporkan menurun
dengan kenaikan jenjang sekolah. Hanya sedikit yang berhasil memanfaatkan
sekolah untuk kemudian naik ke kelas sosial yang lebih tinggi. Bias kedua
adalah bias kota dengan lingkungan industrial. Anak-anak di pedesaan, apalagi
di daerah terpencil, dirugikan karena keterbatasan infrastruktur dari rumah
mereka ke lokasi sekolah. Apalagi di daerah kepulauan Indonesia. Mereka harus
menempuh perjalanan jauh dan perjalanan itu bisa berbahaya bagi keselamatan
mereka. Bahkan, saat mereka tiba di sekolah, guru mereka belum tentu hadir.
Sekolah juga bias industri.
Anak-anak pedesaan diasingkan sekolahnya dari lingkungan lokal mereka yang
biasanya berbasis agrokompleks seperti pertanian, perkebunan, peternakan, serta
perikanan. Urbanisasi besar-besaran yang melanda hampir semua kota besar di
dunia disebabkan adanya persekolahan yang bias industri tersebut. Karena itu,
sebenarnya tidak ada ’’daerah tertinggal’’ karena yang terjadi sesungguhnya
adalah ’’daerah yang ditinggalkan’’ warga produktifnya untuk mencari pekerjaan
di kawasan perkotaan. Minat warga muda untuk menekuni bidang agrokompleks terus
menurun. Kebanyakan lebih tertarik di bidang otomotif dan informatika khas gaya
hidup urban.
Wajib belajar yang diartikan
sebagai wajib sekolah juga menyesatkan karena, pertama, belajar sesungguhnya
adalah sebuah proses spontan yang tidak mensyaratkan persekolahan dengan semua
formalismenya yang menyedot banyak sumber daya seperti gedung, guru, dan
kurikulum. Belajar sebagai sebuah proses memaknai pengalaman setidaknya terdiri
atas tiga kegiatan pokok. Pertama adalah eksplorasi, terutama melalui membaca.
Kedua adalah mengalami, terutama melalui praktik. Ketiga adalah mengekspresikan
diri, terutama melalui menulis dan berbicara. Tiga proses tersebut banyak
terjadi justru di luar sekolah. Artinya, belajar sebagai kegiatan alamiah yang
bisa terjadi di mana pun dan kapan pun diubah menjadi komoditas langka oleh
sekolah. Kekeliruan sekolah tersebut semakin kentara pada zaman internet ini.
Kedua, mewajibkan setiap anak
untuk bersekolah bisa merupakan sebuah kekerasan psikologis terhadap mereka.
Bersekolah harus bersifat sukarela dan pilihan bebas karena anak bisa belajar
di mana pun seperti di kepanduan, misalnya, dan terutama dalam keluarga di
rumah. Daoed Joesoef menyebut keluarga sebagai sekolah cinta. Yang tidak
bersekolah karena memilih belajar mandiri atau harus bekerja membantu keluarga
tidak boleh diintimidasi sebagai kampungan dan tidak terdidik. Di samping itu,
seperti yang terbukti banyak terjadi akhir-akhir ini, sekolah bukan selalu
tempat yang aman bagi anak. Bullying dan kekerasan fisik oleh senior,
intimidasi oleh guru melalui berbagai cara seperti pe-ranking-an, sampai
pelecehan seksual dan tekanan untuk nyontek bersama terjadi di banyak sekolah.
Artinya, akses gratis ke sekolah saat ini justru bisa membahayakan anak.
Sekolah tidak bisa lagi taken for granted sebagai institusi yang suci dan
mulia.
Wajib belajar yang diartikan
wajib sekolah juga menyesatkan karena meremehkan peran masyarakat dan terutama
keluarga dalam pendidikan. Birokrat pendidikan biasanya mengelabui masyarakat
dengan mengatakan bahwa peran keluarga dan masyarakat tetap penting dalam
pendidikan. Tapi, itu hanya retorika yang tidak diikuti anggaran yang
didedikasikan secara memadai untuk masyarakat dan keluarga. Analisis lebih
dalam akan menunjukkan bahwa sekolah memang berkompetisi melawan keluarga dalam
pendidikan. Ivan Illich bahkan mengungkapkan, sekolah melakukan monopoli
radikal di pasar pendidikan. Buktinya bisa kita lihat akhir-akhir ini dengan
gejala ’’full-day school’’ dan hiruk-pikuk ’’pendidikan karakter’’ serta
Kurikulum 2013. Wacana itu telah mempertaruhkan keterdidikan warga negara dan
masa depan bangsa hanya di pundak persekolahan. Puasa sebulan penuh selama
Ramadan bisa jauh lebih efektif dalam membentuk karakter anak daripada sekolah
bertahun-tahun.
Wacana wajib belajar 12 tahun
juga menyesatkan karena belajar sesungguhnya merupakan kegiatan yang spontan
dan berlangsung sepanjang hayat dikandung badan dan karena itu seharusnya
menyenangkan agar bermakna bagi anak sebagai subjek yang belajar dan bagi semua
warga belajar. Wajib belajar, dalam praktiknya bagi banyak anak, bisa menjadi
wajib mendengarkan guru yang membosankan dan sok tahu, terdiskriminasi berdasar
kategori kecerdasan yang sempit, dan terasing dari jati diri sendiri melalui
penyeragaman atas nama standar pendidikan. Sekolah juga justru sering menjadi
penjara dan ladang pemasungan kreativitas anak.
Karena itu, pada abad
internet ini, belajar tidak boleh lagi diwajibkan, sekalipun dengan
penggratisan, apalagi harus di sekolah. Bersekolah harus menjadi pilihan bebas
bagi setiap anak Indonesia. Yang penting adalah belajar, bukan bersekolah. Yang
perlu dilakukan pemerintah bersama masyarakat bukan memperbesar persekolahan
(schooling), tapi memperluas kesempatan belajar (learning opportunities)
melalui jejaring belajar yang luwes dan lentur yang dapat diakses anak sebagai
subjek belajar. Keluarga di rumah menjadi simpul belajar pertama dan utama
dalam jejaring tersebut. Sudah tiba waktunya kita ganti wajib belajar dengan
hak belajar di luar sekolah. Itu tidak saja lebih sedikit anggarannya dan lebih
menjamin terwujudnya pendidikan universal, tapi sekaligus menjadi upaya nyata
kita menjadi a learning society.